Minggu, 30 Juni 2013

Doubt


Doubt
Bleach © Kubo Tite fan fiction
Warning: OOC, typo, mention of Bleach 530 and 531, spekulasi sotoy
.
.
Turning Tables – Adele
.
.
                Kota Karakura, 4 Juni, pukul 20.45.
                Hujan terus mengguyur kota kecil yang permai itu. Butiran air dari angkasa terus berjatuhan sejak matahari menyembunyikan tubuh benderangnya di balik garis horizon. Awan kelabu menyelimuti langit biru yang seharusnya menampakkan diri sepanjang hari ini—sepertinya baru kali ini prakiraan cuaca televisi meleset perhitungannya.
                Di pinggiran kota, berdirilah sebuah rumah. Bukan rumah urban seperti di daerah Minamikawase atau yang berada di pusat kota. Namun sebuah rumah peninggalan zaman Meiji. Pagar besi gelap menjulang tajam di puncaknya, membentengi rumah bergaya Victoria itu yang berdiri angkuh memamerkan kejayaan masanya. Penerangan minim di sekitar kediaman di sana menambah suasana angker dan soliter. Tak lupa, di gerbang utama terpampang besar plat nama pemilik rumah mewah itu, ‘ISHIDA’.
                Semua jendela di rumah itu tertutup oleh tirai beludru yang tebal, kecuali satu. Sebuah lampu meja menyala dari balik jendela lebar itu. Sinar lampu itu tidak menerangi keseluruhan ruangan, tetapi bisa disimpulkan bahwa ruangan itu bernama kamar tidur. Sebuah tempat tidur king-sized diduduki oleh seorang gadis yang sedang membenamkan wajahnya ke guling putih yang ia peluk. Kedua kakinya dia rapatkan ke tubuhnya.
                Bila disimak baik-baik, deru napas pendek keluar dari bibir gadis itu. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Di kejauhan sana, sebuah petir terdengar nyaring membuat sang gadis terlonjak kaget dari tempat duduknya.
                Seharusnya hari ini kota Karakura tidak hujan. Pagi tadi, pembawa acara TV dengan ceria telah memberitahukan para pemirsa bahwa cuaca Karakura sangat cerah sehingga  tak perlu repot menenteng payung ke mana-mana. Namun, ketika pelayan keluarga Ishida, Katagiri, memanggil sang gadis untuk turun karena makan malam sudah siap, hujan pun tumpah ruah membasahi Bumi.
                “Oh, hujan,” gumam Katagiri sambil membukakan pintu menuju ruang makan untuk Masaki. Dentuman air bertemu tanah terdengar riuh di halaman rumah. Seketika, tubuh Masaki menegang.
                Merasakan ketidaknyamanan sang gadis Quincy, Katagiri bertanya, “Masaki-sama? Anda baik-baik saja?”
                “Ah,” suara Masaki sedikit pecah tetapi berhasil ia kontrol, “tidak apa-apa, Katagiri. Aku hanya kelaparan.”
                Katagiri mengembangkan senyum sopan, “Hari ini saya memasak gelatin udang untuk makan malam. Semoga Anda tidak keberatan.”
                “Tidak, tidak, aku tidak keberatan,” Masaki memberi senyum ceria. Dia selalu menyukai masakan Katagiri yang enak-enak.  Meski yang pelayan itu masak selalu masakan Barat, Masaki tak pernah keberatan. Masakan buatan Katagiri selalu berhasil mencerahkan suasana hatinya.
                Tak lama kemudian, Masaki menikmati makan malamnya bersama Bibi Ishida. Suasana ruang makan itu terasa berat. Keberadaan Bibi Ishida selalu membuat Masaki lebih mawas diri. Dia harus duduk lebih tegak, mengusahakan kedua sikunya tidak menyentuh meja, serta dengan hati-hati memotong daging gelatin tanpa suara.
                Lagi pula, dia harus membuktikan pada Bibi bahwa dirinya layak menjadi seorang pengantin Quincy. Tangannya pun langsung sibuk merapikan kerutan rok sailor fuku-nya
                Guyuran hujan yang semakin berat tidak memperbaiki atmosfir di antara mereka. Bulu kuduk Masaki mulai berdiri. Setiap gerakan tubuhnya terasa kaku.
                “Bagaimana sekolahmu, Masaki-san?” Bibi Ishida angkat bicara. Seperti biasa, formal dan kaku pada calon menantunya.
                “Oh, itu, emm,” Masaki memutar otak mencari kata-kata yang tepat. “ Oh iya! Aku baru sadar kalau murid di sekolah bisa menambah sayur kubis dan acar saat makan siang!” Bodoh kau, rutuk si gadis dalam hati. Mengapa malah itu yang keluar?
                Bibi Ishida mengangguk, “Begitu. Lalu, bagaimana dengan pelatihanmu?” Ini jelas pertanyaan yang sedari tadi wanita itu ingin tanyakan.
                Temperatur ruangan mulai menurun beberapa derajat. Pertanyaan itu membuat Masaki salah tingkah. Bibi tidak akan senang mendengar jawabannya.
                “Pelatihan, yah, aku sudah bisa,” dalam setiap kata suara Masaki terus mengecil. “Sedikit,” tambahnya. Dalam hati ia menghitung. Satu, dua, tiga…
                “SEDIKIT!” Bibi Ishida tiba-tiba berdiri sambil memukul meja makan, membuat peralatan makan ikut bergetar. Masaki langsung melorot dalam kursinya.
                “Sadarkah kau berada di mana posisimu sekarang?!” nada bicara wanita itu meninggi. “Orang tuamu sudah tidak ada dan kau adalah anak tunggal! Seharusnya kau sadar posisimu sebagai pewaris keluarga Kurosaki, pewaris kekuatan Quincy di keluargamu!”
                Amarah Nyonya Ishida telah meledak dan Masaki harus mencari cara untuk mengganti topik pembicaraan. Mengapa hari ini cepat sekali berubah menjadi bencana?
                Cepat-cepat, pewaris Kurosaki itu memasang tampang polos, “Ya, aku tahu itu. Ngomong-ngomong, gelatinnya enak sekali.” Batinnya menjerit-menjerit: salah lagi!
                Sepertinya omelan Bibi Ishida tidak akan berhenti andaikan putranya, Ryuuken, tidak menegurnya. “Ibu, hentikan. Aku bisa mendengar suara Ibu dari luar.”
                Masaki menyaksikan ibu-anak itu saling berinteraksi. Begitu dingin dan kaku, kontras sekali dengan keluarganya dulu.
                Setelah Bibi keluar dari ruang makan, si gadis langsung menata diri lagi. Dia harus tetap ceria di depan Ryuuken, calon suaminya. Bicara soal Ryuuken, hari ini dia terlihat santai dengan sweater serta kemeja kotak-kotak.
                Ryuuken melempar senyum pahit, “Maafkan ibuku, Masaki. Beliau hanya melampiaskan stresnya padamu.”
                Lebih dari itu, Ryuu-chan, batin Masaki berkomentar. “Kamu ini bicara apa, Ryuu-chan? Itu semua bukan masalah bagiku. Aku baik-baik saja, kok!” si gadis menyelipkan intonasi ceria dalam setiap kata, meyakinkan tunangannya. Ryuuken tetap diam menanggapi keceriaan tunangannya.
                Aku harus keluar dari sini. “Terima kasih untuk makan malamnya! Ngomong-ngomong, gelatin udangnya enak banget! Nyesel kalau nggak dimakan. Kalau kamu nggak mau  berikan saja padaku, ok!” Dengan itu, Masaki berlari kecil menuju kamarnya. Satu-satunya tempat  dimana ia bisa tenang dan menumpahkan perasaannya.
                Kombinasi hujan dan omelan Bibi benar-benar sudah menyenggol batas kesabarannya. Setibanya di kamar tidurnya yang luas, dia langsung memeluk guling kesayangannya dan menangis.
xxxxxx
                Di dunia yang tak mengenal humanitas ini, Masaki telah belajar menjadi seorang aktris. Agar musuh tidak dapat menerka suasana hatinya. Kecuali dalam situasi ini, supaya tunangannya tidak mengkhawatirkannya.
                Masaki sadar tanggung jawabnya sebagai Quincy. Sebagai anak satu-satunya dari keluarga Kurosaki yang nyaris punah. Sebagai seorang perempuan yang berkewajiban meneruskan darah murni Quincy mulia kepada anak-anaknya. Terkadang semua itu membebaninya. Tetapi ia seorang aktris yang piawai. Masaki pandai menyembunyikan perasaannya.
                Guntur yang melolong serta ledakan petir yang merintih membuat Masaki selalu ingat sebuah waktu di sudut memorinya. Di tengah hujan, ketika keluarganya dibantai oleh segerombolan musuh. Musuh dalam pakaian serba hitam dan sebilah pedang. Musuh yang menamai diri mereka sebagai Shinigami. Musuh bebuyutan Quincy karena alasan yang menggelikan.
                Sebenarnya, nasib Masaki cukup beruntung. Dia dibesarkan dalam keluarga Quincy yang moderat dan berpikiran maju. Keluarganya tak pernah memandang Shinigami sebagai musuh dalam pertarungan, malah sebagai rekan kerja yang masih belum mencapai kata sepakat. Mengingat sesungguhnya tujuan hidup mereka itu sama, yaitu untuk membasmi hollow. Namun, teknik pembasmian yang berbeda di antara dua kelompok itu yang membuat mereka berselisih paham hingga menimbulkan pertumpahan darah ratusan tahun yang lalu. Jika dipikirkan secara objektif, segalanya terasa sangat kekanak-kanakkan.
                Tapi siapa yang mau mendengar pendapat seorang gadis kemarin sore seperti dirinya? Tidak ada. Kecuali Ishida Souken dan mendiang ayahnya.
                Mungkin karena persamaan sudut pandang kedua pria itu, mereka menjalin hubungan persahabatan yang erat. Hal itu membuat sang ayah mempercayakan dirinya kepada keluarga Ishida, yang mungkin mengira bahwa persamaan visi misi ini akan mengantarkan pada sebuah pernikahan yang menguntungkan kedua belah pihak.
                Sangat sulit untuk menemukan keluarga sesama darah murni pada saat ini. Nyaris kakek buyut mereka dibantai pada masa perang berdarah dua ratus tahun silam. Mereka yang tersisa segera bersembunyi dari pengawasan ketat agen-agen Shinigami dan mengamankan diri dengan berbagai cara, salah satunya melalui pernikahan. Demi menghasilkan keturunan yang secara fisik dan spiritual mampu menjadi Quincy—serta mampu mewarisinya kelak—pernikahan antar Quincy tidaklah main-main. Bila sebuah keluarga Quincy berdarah murni tak punya pilihan lagi, mereka takkan segan-segan menjodohkan anak mereka dengan keponakan mereka, hanya untuk mempertahankan kesucian darah mereka. Luar biasa.
                Sungguh beruntung Masaki bertemu dengan Ishida Souken dan putra semata wayangnya, Ryuuken. Mereka menyambutnya dengan hangat. Souken memperlakukan Masaki seperti putrinya sendiri. Ryuuken pun selalu menjaganya bagaikan seorang kakak lelaki yang protektif terhadap adik perempuannya.
                Hanya sang nyonya rumah yang tidak mau bersusah payah menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap Masaki. Baginya, Masaki hanyalah calon istri penerus keluarga Ishida yang harus memberikan keturunan dan menegakkan prinsip kuno Quincy pada generasi selanjutnya.
                Hujan di luar mulai reda. Masaki pun mengangkat wajahnya dan menghembuskan napas. Tiba-tiba, ia merasakan dua gelombang reiatsu masif saling bertabrakan dengan hebatnya, seakan-akan keduanya tenggelam dalam pertarungan panas. Indera Masaki mendeteksi salah satu pemilik reiatsu itu adalah Shinigami.
                Mendadak dilema menyelimuti hatinya. Gadis Kurosaki itu masih mengingat salah satu pesan ayahnya, ‘Jangan pernah kamu membenci Shinigami. Aku mengerti mengapa kaum kita ingin membalas dendam kematian leluhur kita. Tapi, balas dendam hanya akan menimbulkan akar balas dendam yang baru. Kamu harus menahannya.’
                Haruskah ia menyelamatkan Shinigami itu? Reiatsu Shinigami tak bernama ini terasa intens dan kuat, pasti dia selevel para kapten Soul Society. Tetapi lawannya juga tak kalah hebat. Hollow ini bukan berasal dari level ikan teri.
                Masaki menolehkan kepalanya mengarah ke jendela, mata hazel-nya terfokus pada dua makhluk halus di luar sana. Kebetulan hujan tidak terlalu deras sekarang. Dia bisa pergi keluar, mungkin menyelinap lewat jendela. Tidak bisa, Masaki menggelengkan kepalanya menepis jauh-jauh ide konyol itu. Para pelayan bisa tahu kalau nona besar mereka melarikan diri entah kemana. Pelayan rumah Ishida bukan pelayan biasa, mereka Quincy berdarah campuran.
                Separuh hati Masaki berteriak untuk membiarkan mereka bertarung. Tentu saja Masaki tahu mengapa. Keluarga Kurosaki dibantai kelompok Shinigami dalam  pembasmian  gelombang kedua, sebuah genosida yang bertujuan untuk memusnahkan lalat kecil tak berguna yang bernama Quincy yang masih tersisa. Seharusnya gadis itu duduk diam di kamarnya, sebagai sikap bahwa dirinya membela Quincy, membela keluarga Ishida. Namun, idealisme kecil di benaknya terus memberontak bahwa yang ayahnya pernah katakan itu benar. Bahwa hal itu mampu menjadi kunci perseteruan ini berakhir.
                Persetan dengan protokol, langsung saja Kurosaki Masaki membuka pintu dan berlari menuju dua makhluk halus itu bertarung. Semoga saja Shinigami itu baik-baik saja.
Dan semoga aku tidak terluka dalam aksi impulsifku ini. Kalau pun terluka, jangan sampai membuat Ryuu-chan cerewet seperti ibu-ibu.

Kindness


Kindness
a Kimi Ni Todoke © Shiina Karuho fan fiction
Warning: Canon, OOC, typo, nggak tepat sasaran
.
.
                Semua orang tahu, Yano Ayane itu cantik. Tipe kecantikan langka SMA Kitahiro. Dimana gadis-gadis mengenakan make-up untuk memikat hati kaum lelaki, Ayane tidak perlu bersusah payah melakukannya. Ya, ia memang memakai make-up, tapi menurut orang banyak tanpa aplikasi tambahan itu dia sudah cukup cantik. Bibir tebal dan iris coklat yang berhiaskan bulu mata tebal. Sungguh modal yang cukup untuk membuat lelaki kepincut.
                Mengenakan beberapa anting-anting di sudut telinga, merupakan ciri khas sang gadis bersurai oranye coklat. Ayane tahu, keputusan untuk mengenakan aksesori itu membuat banyak gunjingan di antara teman-teman di kelas, terutama dari kaum hawa. Di lingkungannya, gadis yang berdandan dengan anting-anting yang banyak selalu diberi label “gadis panggilan”.
Tapi, baginya itu bukan masalah. Menjadi anak alim bukanlah tujuan utamanya bersekolah di sini. Lagipula, suka tidak suka, gosip tentang dirinya yang sering berkencan dengan lelaki yang bertaut umur jauh darinya memang benar. Lalu, apa gunanya mengklarifikasi? Rumor tersebut bukanlah opini, itu adalah fakta. Baginya itu sudah cukup.
Ditambah, kapasitas otaknya juga berbanding lurus dengan kecantikannya. Cemerlang. Tidak istimewa, namun diperhitungkan. Sudah kebiasaan bagi gadis itu untuk berpikir rasional. Ia jarang melibatkan masalah pribadi mengganggu prestasi sekolahnya. Hal tersebut sudah cukup membuat guru tutup mata tentang reputasinya. Bukanlah rahasia bila sekolah menengah itu lebih mementingkan pendidikan siswanya daripada siswanya sendiri.
Yano Ayane juga bukan orang yang banyak bicara. Dia lebih suka mengamati teman-temannya. Bukan gadis-gadis yang berbisik penuh kagum sambil menatap pujaan hati sekolah dengan damba yang ia perhatikan. Tetapi kepada gadis yankee cerewet yang duduk di depannya atau gadis berambut hitam panjang yang selalu menyendiri di pojok kelas.
Perangainya tenang dan tidak ceroboh. Tidak pernah heboh sendiri atau mencari gara-gara. Mungkin hal-hal yang bagi orang lain menarik tentang dirinya adalah ketika seorang lelaki asing menjemputnya saat jam pulang sekolah, buat apa lagi kalau bukan kencan? Ayane bukanlah orang bodoh. Meski telinganya terhalangi oleh rambut gelombangnya yang tebal, ia tahu teman-temannya yang sirik bergerombol di belakangnya , membicarakan entah apa tentang dirinya sambil melempar tatapan iri dengki. Biarlah mereka begitu, toh mereka tak tahu apapun tentangnya.
Tidak ada yang tahu bahwa sesungguhnya Ayane Yano membenci dirinya sendiri.
Dia tak pernah bangga dengan kecantikannya. Ayane selalu merasa dirinya terlalu mencolok. Setiap pujian hanya ia tanggapi dengan senyum kaku, karena dalam hati ia menepis jauh-jauh kata-kata manis mereka. Semuanya tidak benar, menurutnya.
Ia mengenakan anting dan make-up untuk menambah rasa percaya dirinya. Bukan untuk bersolek atau apapun. Ia tak pernah percaya kalimat ‘cintailah dirimu sendiri’. Karena gadis itu merasa tak ada sisi dirinya yang patut dicintai.
Ayane menerima banyak lelaki dalam hidupnya bukan karena dia mencintai mereka. Dia hanya tersentuh dengan perhatian yang mereka berikan padanya. Tahu betul bahwa hubungan mereka hanya berdasarkan fisik semata. Tak ada degup kencang, perut yang serasa diisi kupu-kupu, pokoknya semua yang diharapkan pada novel romantis mendayu-dayu. Perasaan hangat yang menjalar pada seluruh tubuh ketika ia dan pacarnya hanyut dalam ciuman panas, tak pernah tumbuh dalam hatinya. Ia sadar hubungan ini hanya sesaat, tapi ia tak peduli. Masih ada satu miliar lelaki di luar sana. Buat apa ia peduli. Kalau putus, ya ganti saja.
Gadis itu selalu merasa bahwa ia adalah mainan para lelaki. Dipanggil bila butuh, dibuang bila bosan. Dan dia tidak sama sekali tidak keberatan. Karena ia tak pernah mencintai mereka.
Karena itu, Ayane sangat terkejut ketika Yoshida Chizuru membelanya. Saat para bocah ingusan melecehkannya, gadis berpostur tinggi itu mengumumkan bahwa dirinya jauh lebih seksi daripada yang diejek. Cara membela yang aneh memang. Lagipula, Yoshida memang sudah aneh dari sananya. Mengajak panco pada hari pertama masuk sekolah layaknya teman lama, padahal mereka baru saja bertemu.
Tapi pernyataan Sanada Ryu membuatnya tersentuh. Remaja pria tinggi itu memberitahukannya bahwa Yoshida selalu membicarakan dirinya sejak mereka duduk berdekatan. Ayane yang terbiasa mendengarkan komentar negatif tentang dirinya, merasa meleleh ketika Yoshida dikatakan baru pertama kali senang berteman dengan perempuan, terutama dirinya. Yoshida yang atletis dan tomboi memang tak pernah bergaul dengan teman perempuannya, karena menurut gadis berambut lurus itu perempuan itu rumit dan tidak sesimpel laki-laki.
Pertama kali …
Dan waktu terus berjalan. Kini Yoshida—atau Chizuru telah menjalin persahabatan dengannya. Mereka adalah makhluk pinggiran, meski dengan kelebihan masing-masing. Ke mana pun mereka selalu berdua, makan ramen berdua, bersaing lari maraton, atau menjadi relawan festival sekolah.
Mereka tak dapat terpisahkan. Dan Ayane mensyukuri itu.
Lalu, seorang gadis berambut hitam sepinggang yang konon bisa memanggil arwah, Kuronuma Sadako—eh, Sawako, mewarnai kehidupannya. Kepribadian Sawako yang polos dan tulus mungkin bagi sebagian orang menyebalkan. Tapi Chizuru dan Ayane senang menggali hubungan dengannya. Sawako bukanlah gadis pendendam, dia hanya pemalu. Tak dapat dipungkiri, ketiganya mulai dekat seperti sahabat sejati.
Belum pernah sepanjang hayatnya gadis bermarga Yano itu dibela atau merasakan gejolak untuk member perlindungan pada orang yang dekat dengannya. Ia mengira ia tak mampu mencintai orang lain. Tapi takdir berkata lain. Ia menemukan cinta dalam persahabatan. Dekat, lengket, tak terpisahkan.
Sahabat sejati …
Seorang sahabat adalah orang yang bisa menuliskan biografi hal-hal memalukan tentang dirimu. Seorang sahabat adalah orang yang akan terus bersamamu sepanjang hidup. Seorang sahabat akan tertawa, menangis, marah, dan bahagia bersamamu.
Dan cinta …
Akan selalu mengikuti.

               
               

Ketika Kujatuhkan Pilihan


Tiga tahun yang lalu, aku memilih SMP N 4 Pakem sebagai tempatku menimba ilmu setelah dinyatakan lulus dari jenjang pendidikan sebelumnya. Ketika itu, perasaan khawatir menyelimutiku. SMP 4 Pakem sebenarnya bukanlah sekolah pertama yang ingin aku tuju. Namun setelah pertimbangan banyak hal, serta keinginan untuk mencari suasana baru, akhirnya kuputuskan bersekolah di sini. Setelah melewati berbagai tes masuk dan berujung dengan penerimaanku di SMP 4 Pakem, rasa khawatir itu berganti menjadi senang dan lega. Aku pun mulai menantikan hari-hariku kelak di sekolahku ini.

            Pindah-pindah Kelas itu bagaikan culture shock

            Saat pertama kali aku mengikuti upacara pembukaan tahun ajaran baru 2010/2011, hatiku terbang karena euforia. Akhirnya, kutanggalkan seragam putih-merah di lemari dan kukenakan seragam putih-biru! Kupandangi sekeliling lapangan, mataku memandangi barisan kakak kelas yang berdiri menjulang di pojok lapangan. Setelah itu kualihkan perhatianku pada proses upacara yang sedang berlangsung. Tata caranya membuatku takjub. Sungguh lebih formal dibandingkan dengan upacara di SD-ku dulu.
            Waktu pun berlalu dan aku mulai menjalani hari-hariku sebagai siswa SMP 4 Pakem. Banyak sekali hal baru mengenai sekolah yang membutuhkan penyesuaian cukup lama. Salah satunya mengenai sistem moving class.
            Aku mengenal sistem ini dari film Hollywood yang berlatar tempat sekolah. Melihat gerombolan siswa yang berpindah kelas setiap bel pergantian jam pelajaran membuatku kagum. Pasti menyenangkan bisa ganti suasana setiap ganti pelajaran. Tidak terjebak dalam ruangan kelas yang sama sepanjang tahun.
            Pada awalnya, moving class memang mengasyikkan. Tapi lama-lama aku mulai kesal. Harus kuakui, aku ini orangnya repotan. Jika sudah duduk di bangku kelas, aku akan mengeluarkan nyaris seluruh barang-barangku yang ada di tas dan kujejalkan semuanya di laci meja, kecuali alat tulis. Mungkin ini bawaan sejak SD yang memang tak mengenal sistem pindah-pindah kelas. Ketika bel berbunyi dan kelasku harus pindah kelas, dengan asal kumasukkan barang-barangku. Itu pun tidak dengan kecepatan kilat. Sembari menjejalkan buku paket dan buku tulis, teman-temanku yang lain sudah berlari kecil pamitan dengan guru dan melesat ke kelas selanjutnya. Hatiku langsung dongkol karena aku tidak akan dapat posisi bangku strategis.
            Butuh waktu lama bagiku untuk mengikuti ritme pindah kelas ini. Untuk mengatasinya, aku berstrategi untuk tidak mengeluarkan banyak barang dari tas dan bersiap-siap menjelang saklar bel dipencet.
            Tetapi sistem ini juga menyimpan manfaat. Dengan seringnya berpindah-pindah, kelasku tentu sering berpas-pasan dengan kelas lain. Entah di koridor sekolah,  saling berebut siapa yang masuk atau keluar duluan di pintu kelas, dan bertabrakan karena tidak konsentrasi jalannya. Semuanya memudahkanku untuk mengenal para siswa selain di kelasku. Ketika SD, aku sedikit menyesal karena meskipun sudah menghabiskan enam tahun di sekolah, masih saja segelintir siswa yang aku tak tahu namanya. Tapi tidak dengan SMP, aku bisa mengenal semua wajah dan nama teman-teman dari kelas lain karena frekuensi tatap muka yang lebih dari jam istirahat belaka.

            40 Bisa!!

            Kesan kedua selain menganggap betapa menjulangnya para kakak kelas saking tinggi badannya, adalah kesungguhan mereka bila mengenai perihal pelajaran. Entah mengapa, senakal apapun mereka aura serius mengikuti mereka ke mana pun mereka pergi. Suatu hari, ketika aku dan sekelas melihat daftar nilai kakak kelas di salah satu proyektor sekolah, aku hanya bisa bengong. Ya Allah, nilainya kinclong-kinclong! Aku pun mulai bertanya-tanya, rahasianya apa ya?
Kurasa boleh-boleh saja bila aku membandingkan proses pembelajaran SMP 4 Pakem yang rada mirip dengan kuliah. Segalanya harus belajar mandiri. Tidak seperti SD yang apa-apa dipandu oleh guru, di sini semua siswa harus berinisiatif mencari jalan keluar bila ingin survive alias mendapat nilai bagus. Bila di rumah tidak pernah belajar, jangan heran bila ulangan akan sering ikut remidi atau saat UTS akan mendapat nilai di bawah 8. Kesadaran diri dibangun pada diri siswa dan motivasi terus dipacu oleh guru. Pepatah malu bertanya sesat di jalan sangat berlaku di sini. Bila tidak aktif bertanya ke sesama teman atau guru, bisa-bisa sampai ujian akhir semester akan ada materi yang tidak dikuasai. Apalagi frekuensi ulangan harian sering dilakukan setiap dua minggu sekali, jadi belajarnya harus teratur supaya nilai sempurna hanya menjadi angan-angan lagi.
            Untuk urusan tugas, siswa harus pandai-pandai membagi waktu. Setiap minggu, nyaris semua mata pelajaran memberikan tugas pada siswa. Bila tidak pintar manajemen waktu, siswa bisa stress dan tugas-tugas akan berakhir molor atau malah terbengkalai. Padahal tugas itulah kunci utama nilai rapor kelak.
            Dengan banyaknya tugas yang diberikan, memang sebaiknya menyimpan buku catatan khusus untuk mencatat tiap tugas beserta tenggat waktunya. Serta memacu diri untuk disiplin mengerjakan tugas sesegera mungkin sebelum pertarungan batin antara ‘kerjakan sekarang’ atau ‘nanti saja, toh masih ada banyak waktu’ terjadi dan dimenangkan oleh pernyataan yang terakhir hanya gara-gara malas.
            Ketika siswa menginjak kelas 9, dimulai proses menggodok kami-kami ini supaya bisa meraih nilai UN yang terbaik. Slogan ’40 bisa!’ terpampang di setiap sudut kertas soal yang diberikan dan selalu diingatkan oleh para guru yang membimbing. Jam ke-0 pagi dan siang digelar. Tes diagnostik serta simulasi UN diselenggarakan setiap bulan untuk membangun dan menjaga sikap siaga siswa untuk menghadapi UN. Suasana ‘tiada hari tanpa makan soal’ menjadi pemandangan sehari-hari di kelas. Pada akhirnya, usaha itu berbuah manis. SMP 4 Pakem meraih peringkat pertama se-provinsi DIY. Kami, Pradnya Siwi 2013 kembali menorehkan prestasi sebagai jawara UN. Sudah manis buahnya, besar pula.

            3 Idiots dan Stand Up Comedy

            Terkadang bersekolah di SMP 4 Pakem terasa seperti rumah kedua bagiku. Guru dan karyawannya benar-benar begitu bersahabat dan peduli dengan siswanya. Guru-guru begitu sabar meladeni kami yang memang rada bandel ini. Bahkan kami sering membuat beberapa guru jengkel karena ulah kami dan berakhir diceramahi panjang lebar. Semua itu tentu didasari niat untuk kebaikan kami semua.
            Selain itu, guru-guru juga bisa menjadi sahabat yang tak terduga. Diajak nonton film 3 Idiots, main voli bareng, pulang sekolah diantar naik motor, ditemani kala belum dijemput ortu, memberi referensi buku fiksi terbaru… ah pokoknya banyak momen yang terjadi antara guru dan kami.
            Para karyawan juga tak kalah bersahabat dengan kami. Bermain gitar dan bernyanyi bersama, menonton video Stand Up Comedy Indonesia, mengizinkan kami bermain dengan anak penjaga sekolah… wah pokoknya daftarnya panjang deh.
            Apalagi kepala sekolah kami, Bu Woro. Wah, beliau begitu sayang pada kami. Jika aku berpapasan dan bersalaman dengan beliau, Bu Woro dengan penuh perhatian akan menanyakan keadaanku. Begitu pula beliau dengan siswa yang lain. Meski aku tak sering bertemu Bu Woro seperti aku bertemu dengan guru-guru yang lain, beliau selalu up to date mengenai perkembangan kami. Sungguh kepala sekolah yang mengagumkan.
            Dengan keramahan dan perhatian sekolah yang begitu besar pada kami, aku yakin kesan kuat ini tak akan lekang dimakan waktu.

            Keep It Up!

            Sejujurnya, SMP 4 Pakem itu sudah sempurna. Sayang sekali aku hanya menghabiskan waktu tiga tahun di sini. Padahal kalau bisa aku ingin melihat kolam renang di belakang area sekolah. Aku ingin menikmati lebih banyak waktu di sini. Tapi kelulusan sudah di depan mata. Saatnya untuk berpisah dan melanjutkan hidup untuk menggapai cita-cita yang diinginkan.
            Jadi, SMP-ku yang tercinta, pertahankan apa yang menjadi kebanggaanmu dan selalu tingkatkan kualitasmu agar namamu selalu harum dan menjadi SMP wahid se-DIY. Sebagai siswa dan nanti almamater, aku bangga menjadi bagian besar darimu. Terima kasih sudah menemani perjalanan hidupku ya Pradnya Siwi.
            Sudah tiga tahun berlalu sejak kuputuskan bersekolah di SMP 4 Pakem. Dan itu memang pilihan yang tepat.

Disclaimer (c) Mauri Felissa Yuliani. Jangan memublikasikan cerita ini ke website lain tanpa seizin penulis. Terima kasih.

Bintang Kehidupan


Malam minggu di Yogyakarta identik dengan kemacetan di seluruh pusat kota. Jalanan di sekitar Malioboro dipenuhi lautan kendaraan. Matahari mulai ditelan sang malam. Lampu-lampu di sudut kota mewarnai penjuru jantung Kota Yogyakarta, bagaikan kaleidoskop warna yang berputar-putar.
            Sebuah tangan melambai di pinggir Jalan Malioboro, meminta tumpangan pada sebuah bis Kopata. Bis itu berhenti, memberi isyarat kepada calon penumpang itu untuk segera naik. Penumpang itu bergegas mendaki tangga bis, tahu diri bahwa jalanan yang padat bukan tempat yang tepat untuk kendaraan berhenti. Seorang kondektur berwajah dekil memberi jalan supaya penumpang itu bisa duduk. Sang penumpang mengamati suasana bis, lengang.
            Beda banget, pikir si penumpang alias Bagas. Di luar bis sudah macet total. Di dalam bis sangat sepi. Orang Jogja memang lebih suka naik kendaraan pribadi. Ichigo tidak perlu bersusah payah mencari tempat duduk, karena dia adalah satu-satunya penumpang di bis itu. Ia pun memilih duduk di deret tengah, memojokkan diri di jendela selatan bis.
            Kepala Bagas menempel di kaca jendela, bibirnya mengeluarkan desah lelah. Matanya yang sayu menatap kosong keramaian di luar, yang baginya masih belum mampu memadamkan rasa kecewanya di hatinya.
            Sudah tak terhitung lagi berapa kali pria itu melamar pekerjaan dan berakhir ditolak terus menerus. Stofmap kuning pucat yang ia bawa berisikan dokumen-dokumen penting, yang telah berkali-kali dikembalikan karena tidak memenuhi syarat perusahaan Ichigo datangi. Kemeja kotak-kotak yang ia kenakan telah luntur oleh waktu, seluntur semangatnya kini. Padahal baju itu pemberian ibunya, baju yang dahulu diberikan sewaktu pria itu akan merantau ke Yogyakarta.
            Nak,” pikiran Bagas melayang pada saat terakhir ia akan berpisah dari ibunya, “bawa baju ini. Kemeja ini milik almarhum bapakmu. Beliau berpesan agar kemeja ini diberikan padamu dan dikenakan pada hari-hari istimewa.”
            Bagas menutup matanya, batinnya menjerit pedih saat ia mengenang wajah lembut ibunya yang berlinang air mata. Permintaan itu memang sederhana, tapi beban yang menaunginya amat berat. Kemeja itu adalah lambang doa dari kedua orang tuanya. Dan Bagas merasa telah gagal dalam mengabulkan doa mereka. Setengah dari dirinya ingin segera kembali ke kamar kosnya, mengepak barang, dan pulang ke kampung halaman. Namun, setengah dirinya yang lain tahu tidak akan sanggup menanggung malu pulang dengan tangan kosong, bagaikan seorang prajurit yang kalah telak di peperangan.
            Ketika Bagas sibuk sendiri dengan dunianya, seorang gadis pengamen naik ke dalam bis, menghampirinya.
            “Selamat malam, Mas,” sapa si gadis pengamen. Bagas membuka matanya dan melirik ke arah gadis itu, mengangguk pelan. Secara penampilan, gadis itu terlihat sangat lusuh. Rambut hitamnya yang sebahu terlihat berantakan. Kaos putihnya sudah bisa dijadikan kain pel, begitu juga dengan celana pendek merah muda yang ia kenakan. Bila dibandingkan dengan Ichigo, gadis itu terlihat seperti gelandangan. Namun, ketika mata Bagas bertemu dengan wajah sang gadis, ia hanya bisa terpana.
            Mata besarnya yang berwarna violet terlihat bercahaya. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyum cerah yang sanggup menghidupkan sekelilingnya. Meski air mukanya terlihat lelah, aura semangat masih terpancar dari dirinya. Secara tidak langsung, Ichigo terpengaruh olehnya.
            Gadis itu pun melanjutkan, “Saya akan mempersembahkan sebuah lagu. Mohon berkenan untuk mendengarkan.” Gadis manis itu mulai memetik gitar yang sedari tadi menggantung di bahu kecilnya. Dalam sekejap, seluruh ruangan bis tenggelam dalam sebuah alunan lagu.
            Jenuh aku mendengar. Manisnya kata cinta. Lebih baik sendiri.”
            Ah, lagu itu … Bagas memejamkan matanya, membiarkan dirinya hanyut dalam permainan akustik si gadis pengamen.
            Bukannya sekali. Seringku mencoba. Namun kugagal lagi.”
            Siapa gerangan gadis ini? Malaikat yang Tuhan kirim sebagai penyembuh hatinya yang lara? Bagas mengintip sedikit dari pelupuk matanya, mengamati gadis itu bernyanyi. Kualitas suaranya sangat, sangat, sangat, bagus. Pria itu mengakui, suara gadis ini sungguh bak malaikat. Dia pun menutup matanya lagi.
            Mungkin nasib ini. Suratan tanganku. Harus tabah menjalani.”
            Jauh sudah melangkah. Menyusuri hidupku. Yang penuh tanda tanya.”
            Dalam hati, Bagas mengintrospeksi dirinya sendiri. Mengingat-ingat dulu alasan mengapa dirinya pergi ke kota pelajar.  Sejak ayahnya meninggal, kondisi perekonomian keluarganya carut marut. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Dengan mengandalkan uang warisan sang ayah yang tak seberapa, jelas tidak mungkin sanggup dipakai untuk menghidupi semuanya, apalagi Bagas mempunyai dua adik perempuan. Berbekal ijazah SMA, sebagai anak sulung Ichigo bertekad untuk mengubah kehidupan keluarganya ke arah yang lebih baik.
            Kadang hatiku bimbang. Menentukan sikapku. Menentukan sikapku. Tiada tempat mengadu.”
            “Hanya iman di dada. Yang membuatku mampu. Selalu tabah menjalani.”
            Bagas tahu betul rasa sepi yang menggelayut dan rindu dengan keluarganya. Yang ia miliki hanyalah Tuhan semata …
            Malam-malam aku sendiri. Tanpa cintamu lagi, oh …ho …oh. Hanya satu keyakinanku. Bintang kan bersinar. Menerpa hidupku. Bahagia kan datang, oh … oh.”
            Pria itu membuka matanya saat sang gadis menutup lagu itu. Bagas merogoh saku kanannya, mengambil dompet, dan mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu.
            “Ini,” ucap Bagas sambil memberikan uang itu pada si gadis, “ucapan terima kasihku, karena telah disuguhi lagu indah dari penyanyi hebat sepertimu.”
Wajah si gadis bersemu merah, “Te-te-terima kasih.” Gadis itu mengambil uang itu dari tangan Ichigo, lalu membungkuk memberi hormat padanya. Seakan-akan sudah diatur, bis itu berhenti di persimpangan, dan gadis itu turun. Mata Bagas terus mengejar sosok gadis itu yang akhirnya lenyap ditelan kegelapan.
            Mungkin ini memang rencana Tuhan agar Bagas terus bersemangat dan pantang menyerah. Bagas menyadari kesamaan dirinya dengan gadis itu. Mereka sama-sama berjuang. Pria itu merasa malu karena dia cepat sekali menyerah, sedangkan gadis tadi terus menebar senyum cerah penuh semangat, dari dirinya maupun lagu yang ia nyanyikan.
            Bagas menatap bintang yang bersinar di langit, dalam hatinya berterima kasih padaNya dan gadis pengamen itu.
            Perjalanan memang masih panjang, tapi Bagas merasa ringan karena optimisme dan harapan esok hari.

Disclaimer (c) Mauri Felissa Yuliani. Jangan menerbitkan ulang cerita ini di website lain tanpa seizin penulis. Terima kasih.