Tiga tahun yang lalu, aku memilih SMP
N 4 Pakem sebagai tempatku menimba ilmu setelah dinyatakan lulus dari jenjang
pendidikan sebelumnya. Ketika itu, perasaan khawatir menyelimutiku. SMP 4 Pakem
sebenarnya bukanlah sekolah pertama yang ingin aku tuju. Namun setelah
pertimbangan banyak hal, serta keinginan untuk mencari suasana baru, akhirnya
kuputuskan bersekolah di sini. Setelah melewati berbagai tes masuk dan berujung
dengan penerimaanku di SMP 4 Pakem, rasa khawatir itu berganti menjadi senang
dan lega. Aku pun mulai menantikan hari-hariku kelak di sekolahku ini.
Pindah-pindah
Kelas itu bagaikan culture shock
Saat pertama
kali aku mengikuti upacara pembukaan tahun ajaran baru 2010/2011, hatiku
terbang karena euforia. Akhirnya, kutanggalkan seragam putih-merah di lemari
dan kukenakan seragam putih-biru! Kupandangi sekeliling lapangan, mataku
memandangi barisan kakak kelas yang berdiri menjulang di pojok lapangan.
Setelah itu kualihkan perhatianku pada proses upacara yang sedang berlangsung.
Tata caranya membuatku takjub. Sungguh lebih formal dibandingkan dengan upacara
di SD-ku dulu.
Waktu
pun berlalu dan aku mulai menjalani hari-hariku sebagai siswa SMP 4 Pakem.
Banyak sekali hal baru mengenai sekolah yang membutuhkan penyesuaian cukup
lama. Salah satunya mengenai sistem moving
class.
Aku mengenal sistem ini dari
film Hollywood yang berlatar tempat sekolah. Melihat gerombolan siswa yang
berpindah kelas setiap bel pergantian jam pelajaran membuatku kagum. Pasti
menyenangkan bisa ganti suasana setiap ganti pelajaran. Tidak terjebak dalam
ruangan kelas yang sama sepanjang tahun.
Pada
awalnya, moving class memang
mengasyikkan. Tapi lama-lama aku mulai kesal. Harus kuakui, aku ini orangnya
repotan. Jika sudah duduk di bangku kelas, aku akan mengeluarkan nyaris seluruh
barang-barangku yang ada di tas dan kujejalkan semuanya di laci meja, kecuali
alat tulis. Mungkin ini bawaan sejak SD yang memang tak mengenal sistem
pindah-pindah kelas. Ketika bel berbunyi dan kelasku harus pindah kelas, dengan
asal kumasukkan barang-barangku. Itu pun tidak dengan kecepatan kilat. Sembari
menjejalkan buku paket dan buku tulis, teman-temanku yang lain sudah berlari
kecil pamitan dengan guru dan melesat ke kelas selanjutnya. Hatiku langsung
dongkol karena aku tidak akan dapat posisi bangku strategis.
Butuh
waktu lama bagiku untuk mengikuti ritme pindah kelas ini. Untuk mengatasinya,
aku berstrategi untuk tidak mengeluarkan banyak barang dari tas dan
bersiap-siap menjelang saklar bel dipencet.
Tetapi
sistem ini juga menyimpan manfaat. Dengan seringnya berpindah-pindah, kelasku
tentu sering berpas-pasan dengan kelas lain. Entah di koridor sekolah, saling berebut siapa yang masuk atau keluar
duluan di pintu kelas, dan bertabrakan karena tidak konsentrasi jalannya.
Semuanya memudahkanku untuk mengenal para siswa selain di kelasku. Ketika SD,
aku sedikit menyesal karena meskipun sudah menghabiskan enam tahun di sekolah,
masih saja segelintir siswa yang aku tak tahu namanya. Tapi tidak dengan SMP,
aku bisa mengenal semua wajah dan nama teman-teman dari kelas lain karena
frekuensi tatap muka yang lebih dari jam istirahat belaka.
40 Bisa!!
Kesan kedua
selain menganggap betapa menjulangnya para kakak kelas saking tinggi badannya,
adalah kesungguhan mereka bila mengenai perihal pelajaran. Entah mengapa,
senakal apapun mereka aura serius mengikuti mereka ke mana pun mereka pergi.
Suatu hari, ketika aku dan sekelas melihat daftar nilai kakak kelas di salah
satu proyektor sekolah, aku hanya bisa bengong. Ya Allah, nilainya
kinclong-kinclong! Aku pun mulai bertanya-tanya, rahasianya apa ya?
Kurasa
boleh-boleh saja bila aku membandingkan proses pembelajaran SMP 4 Pakem yang
rada mirip dengan kuliah. Segalanya harus belajar mandiri. Tidak seperti SD
yang apa-apa dipandu oleh guru, di sini semua siswa harus berinisiatif mencari
jalan keluar bila ingin survive alias
mendapat nilai bagus. Bila di rumah tidak pernah belajar, jangan heran bila
ulangan akan sering ikut remidi atau saat UTS akan mendapat nilai di bawah 8.
Kesadaran diri dibangun pada diri siswa dan motivasi terus dipacu oleh guru.
Pepatah malu bertanya sesat di jalan sangat berlaku di sini. Bila tidak aktif
bertanya ke sesama teman atau guru, bisa-bisa sampai ujian akhir semester akan
ada materi yang tidak dikuasai. Apalagi frekuensi ulangan harian sering
dilakukan setiap dua minggu sekali, jadi belajarnya harus teratur supaya nilai
sempurna hanya menjadi angan-angan lagi.
Untuk
urusan tugas, siswa harus pandai-pandai membagi waktu. Setiap minggu, nyaris
semua mata pelajaran memberikan tugas pada siswa. Bila tidak pintar manajemen
waktu, siswa bisa stress dan tugas-tugas akan berakhir molor atau malah
terbengkalai. Padahal tugas itulah kunci utama nilai rapor kelak.
Dengan
banyaknya tugas yang diberikan, memang sebaiknya menyimpan buku catatan khusus
untuk mencatat tiap tugas beserta tenggat waktunya. Serta memacu diri untuk
disiplin mengerjakan tugas sesegera mungkin sebelum pertarungan batin antara ‘kerjakan
sekarang’ atau ‘nanti saja, toh masih ada banyak waktu’ terjadi dan dimenangkan
oleh pernyataan yang terakhir hanya gara-gara malas.
Ketika
siswa menginjak kelas 9, dimulai proses menggodok kami-kami ini supaya bisa
meraih nilai UN yang terbaik. Slogan ’40 bisa!’ terpampang di setiap sudut
kertas soal yang diberikan dan selalu diingatkan oleh para guru yang
membimbing. Jam ke-0 pagi dan siang digelar. Tes diagnostik serta simulasi UN
diselenggarakan setiap bulan untuk membangun dan menjaga sikap siaga siswa
untuk menghadapi UN. Suasana ‘tiada hari tanpa makan soal’ menjadi pemandangan
sehari-hari di kelas. Pada akhirnya, usaha itu berbuah manis. SMP 4 Pakem
meraih peringkat pertama se-provinsi DIY. Kami, Pradnya Siwi 2013 kembali
menorehkan prestasi sebagai jawara UN. Sudah manis buahnya, besar pula.
3 Idiots dan Stand
Up Comedy
Terkadang
bersekolah di SMP 4 Pakem terasa seperti rumah kedua bagiku. Guru dan
karyawannya benar-benar begitu bersahabat dan peduli dengan siswanya. Guru-guru
begitu sabar meladeni kami yang memang rada bandel ini. Bahkan kami sering
membuat beberapa guru jengkel karena ulah kami dan berakhir diceramahi panjang
lebar. Semua itu tentu didasari niat untuk kebaikan kami semua.
Selain
itu, guru-guru juga bisa menjadi sahabat yang tak terduga. Diajak nonton film 3 Idiots, main voli bareng, pulang
sekolah diantar naik motor, ditemani kala belum dijemput ortu, memberi
referensi buku fiksi terbaru… ah pokoknya banyak momen yang terjadi antara guru
dan kami.
Para
karyawan juga tak kalah bersahabat dengan kami. Bermain gitar dan bernyanyi
bersama, menonton video Stand Up Comedy
Indonesia, mengizinkan kami bermain dengan anak penjaga sekolah… wah
pokoknya daftarnya panjang deh.
Apalagi
kepala sekolah kami, Bu Woro. Wah, beliau begitu sayang pada kami. Jika aku
berpapasan dan bersalaman dengan beliau, Bu Woro dengan penuh perhatian akan
menanyakan keadaanku. Begitu pula beliau dengan siswa yang lain. Meski aku tak
sering bertemu Bu Woro seperti aku bertemu dengan guru-guru yang lain, beliau
selalu up to date mengenai perkembangan kami. Sungguh kepala sekolah yang
mengagumkan.
Dengan
keramahan dan perhatian sekolah yang begitu besar pada kami, aku yakin kesan
kuat ini tak akan lekang dimakan waktu.
Keep It Up!
Sejujurnya,
SMP 4 Pakem itu sudah sempurna. Sayang sekali aku hanya menghabiskan waktu tiga
tahun di sini. Padahal kalau bisa aku ingin melihat kolam renang di belakang
area sekolah. Aku ingin menikmati lebih banyak waktu di sini. Tapi kelulusan
sudah di depan mata. Saatnya untuk berpisah dan melanjutkan hidup untuk
menggapai cita-cita yang diinginkan.
Jadi,
SMP-ku yang tercinta, pertahankan apa yang menjadi kebanggaanmu dan selalu
tingkatkan kualitasmu agar namamu selalu harum dan menjadi SMP wahid se-DIY. Sebagai
siswa dan nanti almamater, aku bangga menjadi bagian besar darimu. Terima kasih
sudah menemani perjalanan hidupku ya Pradnya Siwi.
Sudah
tiga tahun berlalu sejak kuputuskan bersekolah di SMP 4 Pakem. Dan itu memang
pilihan yang tepat.
Disclaimer (c) Mauri Felissa Yuliani. Jangan memublikasikan cerita ini ke website lain tanpa seizin penulis. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar