Minggu, 30 Juni 2013

Ketika Kujatuhkan Pilihan


Tiga tahun yang lalu, aku memilih SMP N 4 Pakem sebagai tempatku menimba ilmu setelah dinyatakan lulus dari jenjang pendidikan sebelumnya. Ketika itu, perasaan khawatir menyelimutiku. SMP 4 Pakem sebenarnya bukanlah sekolah pertama yang ingin aku tuju. Namun setelah pertimbangan banyak hal, serta keinginan untuk mencari suasana baru, akhirnya kuputuskan bersekolah di sini. Setelah melewati berbagai tes masuk dan berujung dengan penerimaanku di SMP 4 Pakem, rasa khawatir itu berganti menjadi senang dan lega. Aku pun mulai menantikan hari-hariku kelak di sekolahku ini.

            Pindah-pindah Kelas itu bagaikan culture shock

            Saat pertama kali aku mengikuti upacara pembukaan tahun ajaran baru 2010/2011, hatiku terbang karena euforia. Akhirnya, kutanggalkan seragam putih-merah di lemari dan kukenakan seragam putih-biru! Kupandangi sekeliling lapangan, mataku memandangi barisan kakak kelas yang berdiri menjulang di pojok lapangan. Setelah itu kualihkan perhatianku pada proses upacara yang sedang berlangsung. Tata caranya membuatku takjub. Sungguh lebih formal dibandingkan dengan upacara di SD-ku dulu.
            Waktu pun berlalu dan aku mulai menjalani hari-hariku sebagai siswa SMP 4 Pakem. Banyak sekali hal baru mengenai sekolah yang membutuhkan penyesuaian cukup lama. Salah satunya mengenai sistem moving class.
            Aku mengenal sistem ini dari film Hollywood yang berlatar tempat sekolah. Melihat gerombolan siswa yang berpindah kelas setiap bel pergantian jam pelajaran membuatku kagum. Pasti menyenangkan bisa ganti suasana setiap ganti pelajaran. Tidak terjebak dalam ruangan kelas yang sama sepanjang tahun.
            Pada awalnya, moving class memang mengasyikkan. Tapi lama-lama aku mulai kesal. Harus kuakui, aku ini orangnya repotan. Jika sudah duduk di bangku kelas, aku akan mengeluarkan nyaris seluruh barang-barangku yang ada di tas dan kujejalkan semuanya di laci meja, kecuali alat tulis. Mungkin ini bawaan sejak SD yang memang tak mengenal sistem pindah-pindah kelas. Ketika bel berbunyi dan kelasku harus pindah kelas, dengan asal kumasukkan barang-barangku. Itu pun tidak dengan kecepatan kilat. Sembari menjejalkan buku paket dan buku tulis, teman-temanku yang lain sudah berlari kecil pamitan dengan guru dan melesat ke kelas selanjutnya. Hatiku langsung dongkol karena aku tidak akan dapat posisi bangku strategis.
            Butuh waktu lama bagiku untuk mengikuti ritme pindah kelas ini. Untuk mengatasinya, aku berstrategi untuk tidak mengeluarkan banyak barang dari tas dan bersiap-siap menjelang saklar bel dipencet.
            Tetapi sistem ini juga menyimpan manfaat. Dengan seringnya berpindah-pindah, kelasku tentu sering berpas-pasan dengan kelas lain. Entah di koridor sekolah,  saling berebut siapa yang masuk atau keluar duluan di pintu kelas, dan bertabrakan karena tidak konsentrasi jalannya. Semuanya memudahkanku untuk mengenal para siswa selain di kelasku. Ketika SD, aku sedikit menyesal karena meskipun sudah menghabiskan enam tahun di sekolah, masih saja segelintir siswa yang aku tak tahu namanya. Tapi tidak dengan SMP, aku bisa mengenal semua wajah dan nama teman-teman dari kelas lain karena frekuensi tatap muka yang lebih dari jam istirahat belaka.

            40 Bisa!!

            Kesan kedua selain menganggap betapa menjulangnya para kakak kelas saking tinggi badannya, adalah kesungguhan mereka bila mengenai perihal pelajaran. Entah mengapa, senakal apapun mereka aura serius mengikuti mereka ke mana pun mereka pergi. Suatu hari, ketika aku dan sekelas melihat daftar nilai kakak kelas di salah satu proyektor sekolah, aku hanya bisa bengong. Ya Allah, nilainya kinclong-kinclong! Aku pun mulai bertanya-tanya, rahasianya apa ya?
Kurasa boleh-boleh saja bila aku membandingkan proses pembelajaran SMP 4 Pakem yang rada mirip dengan kuliah. Segalanya harus belajar mandiri. Tidak seperti SD yang apa-apa dipandu oleh guru, di sini semua siswa harus berinisiatif mencari jalan keluar bila ingin survive alias mendapat nilai bagus. Bila di rumah tidak pernah belajar, jangan heran bila ulangan akan sering ikut remidi atau saat UTS akan mendapat nilai di bawah 8. Kesadaran diri dibangun pada diri siswa dan motivasi terus dipacu oleh guru. Pepatah malu bertanya sesat di jalan sangat berlaku di sini. Bila tidak aktif bertanya ke sesama teman atau guru, bisa-bisa sampai ujian akhir semester akan ada materi yang tidak dikuasai. Apalagi frekuensi ulangan harian sering dilakukan setiap dua minggu sekali, jadi belajarnya harus teratur supaya nilai sempurna hanya menjadi angan-angan lagi.
            Untuk urusan tugas, siswa harus pandai-pandai membagi waktu. Setiap minggu, nyaris semua mata pelajaran memberikan tugas pada siswa. Bila tidak pintar manajemen waktu, siswa bisa stress dan tugas-tugas akan berakhir molor atau malah terbengkalai. Padahal tugas itulah kunci utama nilai rapor kelak.
            Dengan banyaknya tugas yang diberikan, memang sebaiknya menyimpan buku catatan khusus untuk mencatat tiap tugas beserta tenggat waktunya. Serta memacu diri untuk disiplin mengerjakan tugas sesegera mungkin sebelum pertarungan batin antara ‘kerjakan sekarang’ atau ‘nanti saja, toh masih ada banyak waktu’ terjadi dan dimenangkan oleh pernyataan yang terakhir hanya gara-gara malas.
            Ketika siswa menginjak kelas 9, dimulai proses menggodok kami-kami ini supaya bisa meraih nilai UN yang terbaik. Slogan ’40 bisa!’ terpampang di setiap sudut kertas soal yang diberikan dan selalu diingatkan oleh para guru yang membimbing. Jam ke-0 pagi dan siang digelar. Tes diagnostik serta simulasi UN diselenggarakan setiap bulan untuk membangun dan menjaga sikap siaga siswa untuk menghadapi UN. Suasana ‘tiada hari tanpa makan soal’ menjadi pemandangan sehari-hari di kelas. Pada akhirnya, usaha itu berbuah manis. SMP 4 Pakem meraih peringkat pertama se-provinsi DIY. Kami, Pradnya Siwi 2013 kembali menorehkan prestasi sebagai jawara UN. Sudah manis buahnya, besar pula.

            3 Idiots dan Stand Up Comedy

            Terkadang bersekolah di SMP 4 Pakem terasa seperti rumah kedua bagiku. Guru dan karyawannya benar-benar begitu bersahabat dan peduli dengan siswanya. Guru-guru begitu sabar meladeni kami yang memang rada bandel ini. Bahkan kami sering membuat beberapa guru jengkel karena ulah kami dan berakhir diceramahi panjang lebar. Semua itu tentu didasari niat untuk kebaikan kami semua.
            Selain itu, guru-guru juga bisa menjadi sahabat yang tak terduga. Diajak nonton film 3 Idiots, main voli bareng, pulang sekolah diantar naik motor, ditemani kala belum dijemput ortu, memberi referensi buku fiksi terbaru… ah pokoknya banyak momen yang terjadi antara guru dan kami.
            Para karyawan juga tak kalah bersahabat dengan kami. Bermain gitar dan bernyanyi bersama, menonton video Stand Up Comedy Indonesia, mengizinkan kami bermain dengan anak penjaga sekolah… wah pokoknya daftarnya panjang deh.
            Apalagi kepala sekolah kami, Bu Woro. Wah, beliau begitu sayang pada kami. Jika aku berpapasan dan bersalaman dengan beliau, Bu Woro dengan penuh perhatian akan menanyakan keadaanku. Begitu pula beliau dengan siswa yang lain. Meski aku tak sering bertemu Bu Woro seperti aku bertemu dengan guru-guru yang lain, beliau selalu up to date mengenai perkembangan kami. Sungguh kepala sekolah yang mengagumkan.
            Dengan keramahan dan perhatian sekolah yang begitu besar pada kami, aku yakin kesan kuat ini tak akan lekang dimakan waktu.

            Keep It Up!

            Sejujurnya, SMP 4 Pakem itu sudah sempurna. Sayang sekali aku hanya menghabiskan waktu tiga tahun di sini. Padahal kalau bisa aku ingin melihat kolam renang di belakang area sekolah. Aku ingin menikmati lebih banyak waktu di sini. Tapi kelulusan sudah di depan mata. Saatnya untuk berpisah dan melanjutkan hidup untuk menggapai cita-cita yang diinginkan.
            Jadi, SMP-ku yang tercinta, pertahankan apa yang menjadi kebanggaanmu dan selalu tingkatkan kualitasmu agar namamu selalu harum dan menjadi SMP wahid se-DIY. Sebagai siswa dan nanti almamater, aku bangga menjadi bagian besar darimu. Terima kasih sudah menemani perjalanan hidupku ya Pradnya Siwi.
            Sudah tiga tahun berlalu sejak kuputuskan bersekolah di SMP 4 Pakem. Dan itu memang pilihan yang tepat.

Disclaimer (c) Mauri Felissa Yuliani. Jangan memublikasikan cerita ini ke website lain tanpa seizin penulis. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar