Kindness
a Kimi Ni Todoke ©
Shiina Karuho fan fiction
Warning: Canon, OOC,
typo, nggak tepat sasaran
.
.
Semua
orang tahu, Yano Ayane itu cantik. Tipe kecantikan langka SMA Kitahiro. Dimana
gadis-gadis mengenakan make-up untuk
memikat hati kaum lelaki, Ayane tidak perlu bersusah payah melakukannya. Ya, ia
memang memakai make-up, tapi menurut
orang banyak tanpa aplikasi tambahan itu dia sudah cukup cantik. Bibir tebal
dan iris coklat yang berhiaskan bulu mata tebal. Sungguh modal yang cukup untuk
membuat lelaki kepincut.
Mengenakan
beberapa anting-anting di sudut telinga, merupakan ciri khas sang gadis
bersurai oranye coklat. Ayane tahu, keputusan untuk mengenakan aksesori itu
membuat banyak gunjingan di antara teman-teman di kelas, terutama dari kaum hawa.
Di lingkungannya, gadis yang berdandan dengan anting-anting yang banyak selalu
diberi label “gadis panggilan”.
Tapi, baginya
itu bukan masalah. Menjadi anak alim bukanlah tujuan utamanya bersekolah di
sini. Lagipula, suka tidak suka, gosip tentang dirinya yang sering berkencan
dengan lelaki yang bertaut umur jauh darinya memang benar. Lalu, apa gunanya
mengklarifikasi? Rumor tersebut bukanlah opini, itu adalah fakta. Baginya itu
sudah cukup.
Ditambah,
kapasitas otaknya juga berbanding lurus dengan kecantikannya. Cemerlang. Tidak
istimewa, namun diperhitungkan. Sudah kebiasaan bagi gadis itu untuk berpikir
rasional. Ia jarang melibatkan masalah pribadi mengganggu prestasi sekolahnya.
Hal tersebut sudah cukup membuat guru tutup mata tentang reputasinya. Bukanlah
rahasia bila sekolah menengah itu lebih mementingkan pendidikan siswanya
daripada siswanya sendiri.
Yano Ayane juga
bukan orang yang banyak bicara. Dia lebih suka mengamati teman-temannya. Bukan
gadis-gadis yang berbisik penuh kagum sambil menatap pujaan hati sekolah dengan
damba yang ia perhatikan. Tetapi kepada gadis yankee cerewet yang duduk di depannya atau gadis berambut hitam
panjang yang selalu menyendiri di pojok kelas.
Perangainya
tenang dan tidak ceroboh. Tidak pernah heboh sendiri atau mencari gara-gara. Mungkin
hal-hal yang bagi orang lain menarik tentang dirinya adalah ketika seorang
lelaki asing menjemputnya saat jam pulang sekolah, buat apa lagi kalau bukan
kencan? Ayane bukanlah orang bodoh. Meski telinganya terhalangi oleh rambut gelombangnya
yang tebal, ia tahu teman-temannya yang sirik bergerombol di belakangnya ,
membicarakan entah apa tentang dirinya sambil melempar tatapan iri dengki.
Biarlah mereka begitu, toh mereka tak tahu apapun tentangnya.
Tidak ada yang
tahu bahwa sesungguhnya Ayane Yano membenci dirinya sendiri.
Dia tak pernah
bangga dengan kecantikannya. Ayane selalu merasa dirinya terlalu mencolok.
Setiap pujian hanya ia tanggapi dengan senyum kaku, karena dalam hati ia
menepis jauh-jauh kata-kata manis mereka. Semuanya tidak benar, menurutnya.
Ia mengenakan
anting dan make-up untuk menambah rasa percaya dirinya. Bukan untuk bersolek
atau apapun. Ia tak pernah percaya kalimat ‘cintailah dirimu sendiri’. Karena
gadis itu merasa tak ada sisi dirinya yang patut dicintai.
Ayane menerima
banyak lelaki dalam hidupnya bukan karena dia mencintai mereka. Dia hanya
tersentuh dengan perhatian yang mereka berikan padanya. Tahu betul bahwa
hubungan mereka hanya berdasarkan fisik semata. Tak ada degup kencang, perut yang
serasa diisi kupu-kupu, pokoknya semua yang diharapkan pada novel romantis
mendayu-dayu. Perasaan hangat yang menjalar pada seluruh tubuh ketika ia dan
pacarnya hanyut dalam ciuman panas, tak pernah tumbuh dalam hatinya. Ia sadar
hubungan ini hanya sesaat, tapi ia tak peduli. Masih ada satu miliar lelaki di
luar sana. Buat apa ia peduli. Kalau putus, ya ganti saja.
Gadis itu selalu
merasa bahwa ia adalah mainan para lelaki. Dipanggil bila butuh, dibuang bila
bosan. Dan dia tidak sama sekali tidak keberatan. Karena ia tak pernah
mencintai mereka.
Karena itu,
Ayane sangat terkejut ketika Yoshida Chizuru membelanya. Saat para bocah
ingusan melecehkannya, gadis berpostur tinggi itu mengumumkan bahwa dirinya
jauh lebih seksi daripada yang diejek. Cara membela yang aneh memang. Lagipula,
Yoshida memang sudah aneh dari sananya. Mengajak panco pada hari pertama masuk
sekolah layaknya teman lama, padahal mereka baru saja bertemu.
Tapi pernyataan
Sanada Ryu membuatnya tersentuh. Remaja pria tinggi itu memberitahukannya bahwa
Yoshida selalu membicarakan dirinya sejak mereka duduk berdekatan. Ayane yang
terbiasa mendengarkan komentar negatif tentang dirinya, merasa meleleh ketika
Yoshida dikatakan baru pertama kali senang berteman dengan perempuan, terutama
dirinya. Yoshida yang atletis dan tomboi memang tak pernah bergaul dengan teman
perempuannya, karena menurut gadis berambut lurus itu perempuan itu rumit dan
tidak sesimpel laki-laki.
Pertama kali …
Dan waktu terus
berjalan. Kini Yoshida—atau Chizuru telah menjalin persahabatan dengannya.
Mereka adalah makhluk pinggiran, meski dengan kelebihan masing-masing. Ke mana
pun mereka selalu berdua, makan ramen berdua, bersaing lari maraton, atau
menjadi relawan festival sekolah.
Mereka tak dapat
terpisahkan. Dan Ayane mensyukuri itu.
Lalu, seorang
gadis berambut hitam sepinggang yang konon bisa memanggil arwah, Kuronuma
Sadako—eh, Sawako, mewarnai kehidupannya. Kepribadian Sawako yang polos dan
tulus mungkin bagi sebagian orang menyebalkan. Tapi Chizuru dan Ayane senang
menggali hubungan dengannya. Sawako bukanlah gadis pendendam, dia hanya pemalu.
Tak dapat dipungkiri, ketiganya mulai dekat seperti sahabat sejati.
Belum pernah
sepanjang hayatnya gadis bermarga Yano itu dibela atau merasakan gejolak untuk
member perlindungan pada orang yang dekat dengannya. Ia mengira ia tak mampu
mencintai orang lain. Tapi takdir berkata lain. Ia menemukan cinta dalam
persahabatan. Dekat, lengket, tak terpisahkan.
Sahabat sejati …
Seorang sahabat
adalah orang yang bisa menuliskan biografi hal-hal memalukan tentang dirimu.
Seorang sahabat adalah orang yang akan terus bersamamu sepanjang hidup. Seorang
sahabat akan tertawa, menangis, marah, dan bahagia bersamamu.
Dan cinta …
Akan selalu
mengikuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar