Malam minggu di Yogyakarta identik
dengan kemacetan di seluruh pusat kota. Jalanan di sekitar Malioboro dipenuhi
lautan kendaraan. Matahari mulai ditelan sang malam. Lampu-lampu di sudut kota
mewarnai penjuru jantung Kota Yogyakarta, bagaikan kaleidoskop warna yang
berputar-putar.
Sebuah
tangan melambai di pinggir Jalan Malioboro, meminta tumpangan pada sebuah bis
Kopata. Bis itu berhenti, memberi isyarat kepada calon penumpang itu untuk
segera naik. Penumpang itu bergegas mendaki tangga bis, tahu diri bahwa jalanan
yang padat bukan tempat yang tepat untuk kendaraan berhenti. Seorang kondektur
berwajah dekil memberi jalan supaya penumpang itu bisa duduk. Sang penumpang
mengamati suasana bis, lengang.
Beda banget, pikir si penumpang alias
Bagas. Di luar bis sudah macet total. Di dalam bis sangat sepi. Orang Jogja
memang lebih suka naik kendaraan pribadi. Ichigo tidak perlu bersusah payah
mencari tempat duduk, karena dia adalah satu-satunya penumpang di bis itu. Ia
pun memilih duduk di deret tengah, memojokkan diri di jendela selatan bis.
Kepala
Bagas menempel di kaca jendela, bibirnya mengeluarkan desah lelah. Matanya yang
sayu menatap kosong keramaian di luar, yang baginya masih belum mampu
memadamkan rasa kecewanya di hatinya.
Sudah
tak terhitung lagi berapa kali pria itu melamar pekerjaan dan berakhir ditolak
terus menerus. Stofmap kuning pucat yang ia bawa berisikan dokumen-dokumen
penting, yang telah berkali-kali dikembalikan karena tidak memenuhi syarat
perusahaan Ichigo datangi. Kemeja kotak-kotak yang ia kenakan telah luntur oleh
waktu, seluntur semangatnya kini. Padahal baju itu pemberian ibunya, baju yang
dahulu diberikan sewaktu pria itu akan merantau ke Yogyakarta.
“Nak,” pikiran Bagas melayang pada saat
terakhir ia akan berpisah dari ibunya, “bawa
baju ini. Kemeja ini milik almarhum bapakmu. Beliau berpesan agar kemeja ini
diberikan padamu dan dikenakan pada hari-hari istimewa.”
Bagas
menutup matanya, batinnya menjerit pedih saat ia mengenang wajah lembut ibunya
yang berlinang air mata. Permintaan itu memang sederhana, tapi beban yang
menaunginya amat berat. Kemeja itu adalah lambang doa dari kedua orang tuanya.
Dan Bagas merasa telah gagal dalam mengabulkan doa mereka. Setengah dari
dirinya ingin segera kembali ke kamar kosnya, mengepak barang, dan pulang ke
kampung halaman. Namun, setengah dirinya yang lain tahu tidak akan sanggup
menanggung malu pulang dengan tangan kosong, bagaikan seorang prajurit yang
kalah telak di peperangan.
Ketika
Bagas sibuk sendiri dengan dunianya, seorang gadis pengamen naik ke dalam bis,
menghampirinya.
“Selamat
malam, Mas,” sapa si gadis pengamen. Bagas membuka matanya dan melirik ke arah
gadis itu, mengangguk pelan. Secara penampilan, gadis itu terlihat sangat
lusuh. Rambut hitamnya yang sebahu terlihat berantakan. Kaos putihnya sudah
bisa dijadikan kain pel, begitu juga dengan celana pendek merah muda yang ia
kenakan. Bila dibandingkan dengan Ichigo, gadis itu terlihat seperti gelandangan.
Namun, ketika mata Bagas bertemu dengan wajah sang gadis, ia hanya bisa
terpana.
Mata
besarnya yang berwarna violet terlihat bercahaya. Sudut bibirnya melengkung
membentuk senyum cerah yang sanggup menghidupkan sekelilingnya. Meski air
mukanya terlihat lelah, aura semangat masih terpancar dari dirinya. Secara
tidak langsung, Ichigo terpengaruh olehnya.
Gadis
itu pun melanjutkan, “Saya akan mempersembahkan sebuah lagu. Mohon berkenan
untuk mendengarkan.” Gadis manis itu mulai memetik gitar yang sedari tadi
menggantung di bahu kecilnya. Dalam sekejap, seluruh ruangan bis tenggelam
dalam sebuah alunan lagu.
“Jenuh aku mendengar. Manisnya kata cinta.
Lebih baik sendiri.”
Ah, lagu itu … Bagas memejamkan
matanya, membiarkan dirinya hanyut dalam permainan akustik si gadis pengamen.
“Bukannya sekali. Seringku mencoba. Namun
kugagal lagi.”
Siapa gerangan gadis ini? Malaikat
yang Tuhan kirim sebagai penyembuh hatinya yang lara? Bagas mengintip sedikit
dari pelupuk matanya, mengamati gadis itu bernyanyi. Kualitas suaranya sangat,
sangat, sangat, bagus. Pria itu mengakui, suara gadis ini sungguh bak malaikat.
Dia pun menutup matanya lagi.
“Mungkin nasib ini. Suratan tanganku. Harus
tabah menjalani.”
“Jauh sudah melangkah. Menyusuri hidupku.
Yang penuh tanda tanya.”
Dalam
hati, Bagas mengintrospeksi dirinya sendiri. Mengingat-ingat dulu alasan
mengapa dirinya pergi ke kota pelajar. Sejak
ayahnya meninggal, kondisi perekonomian keluarganya carut marut. Ibunya hanya
seorang ibu rumah tangga. Dengan mengandalkan uang warisan sang ayah yang tak
seberapa, jelas tidak mungkin sanggup dipakai untuk menghidupi semuanya,
apalagi Bagas mempunyai dua adik perempuan. Berbekal ijazah SMA, sebagai anak
sulung Ichigo bertekad untuk mengubah kehidupan keluarganya ke arah yang lebih
baik.
“Kadang hatiku bimbang. Menentukan sikapku.
Menentukan sikapku. Tiada tempat mengadu.”
“Hanya iman di dada.
Yang membuatku mampu. Selalu tabah menjalani.”
Bagas tahu betul rasa sepi yang
menggelayut dan rindu dengan keluarganya. Yang ia miliki hanyalah Tuhan semata
…
“Malam-malam aku sendiri. Tanpa cintamu lagi,
oh …ho …oh. Hanya satu keyakinanku. Bintang kan bersinar. Menerpa hidupku.
Bahagia kan datang, oh … oh.”
Pria itu membuka matanya saat sang
gadis menutup lagu itu. Bagas merogoh saku kanannya, mengambil dompet, dan mengeluarkan
selembar uang sepuluh ribu.
“Ini,”
ucap Bagas sambil memberikan uang itu pada si gadis, “ucapan terima kasihku,
karena telah disuguhi lagu indah dari penyanyi hebat sepertimu.”
Wajah si gadis bersemu merah,
“Te-te-terima kasih.” Gadis itu mengambil uang itu dari tangan Ichigo, lalu
membungkuk memberi hormat padanya. Seakan-akan sudah diatur, bis itu berhenti
di persimpangan, dan gadis itu turun. Mata Bagas terus mengejar sosok gadis itu
yang akhirnya lenyap ditelan kegelapan.
Mungkin
ini memang rencana Tuhan agar Bagas terus bersemangat dan pantang menyerah.
Bagas menyadari kesamaan dirinya dengan gadis itu. Mereka sama-sama berjuang.
Pria itu merasa malu karena dia cepat sekali menyerah, sedangkan gadis tadi
terus menebar senyum cerah penuh semangat, dari dirinya maupun lagu yang ia
nyanyikan.
Bagas
menatap bintang yang bersinar di langit, dalam hatinya berterima kasih padaNya
dan gadis pengamen itu.
Perjalanan
memang masih panjang, tapi Bagas merasa ringan karena optimisme dan harapan
esok hari.
Disclaimer (c) Mauri Felissa Yuliani. Jangan menerbitkan ulang cerita ini di website lain tanpa seizin penulis. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar