Doubt
Bleach © Kubo Tite
fan fiction
Warning: OOC, typo,
mention of Bleach 530 and 531, spekulasi sotoy
.
.
Turning Tables – Adele
.
.
Kota
Karakura, 4 Juni, pukul 20.45.
Hujan
terus mengguyur kota kecil yang permai itu. Butiran air dari angkasa terus berjatuhan
sejak matahari menyembunyikan tubuh benderangnya di balik garis horizon. Awan
kelabu menyelimuti langit biru yang seharusnya menampakkan diri sepanjang hari
ini—sepertinya baru kali ini prakiraan cuaca televisi meleset perhitungannya.
Di
pinggiran kota, berdirilah sebuah rumah. Bukan rumah urban seperti di daerah
Minamikawase atau yang berada di pusat kota. Namun sebuah rumah peninggalan
zaman Meiji. Pagar besi gelap menjulang tajam di puncaknya, membentengi rumah bergaya
Victoria itu yang berdiri angkuh memamerkan kejayaan masanya. Penerangan minim
di sekitar kediaman di sana menambah suasana angker dan soliter. Tak lupa, di
gerbang utama terpampang besar plat nama pemilik rumah mewah itu, ‘ISHIDA’.
Semua
jendela di rumah itu tertutup oleh tirai beludru yang tebal, kecuali satu. Sebuah
lampu meja menyala dari balik jendela lebar itu. Sinar lampu itu tidak menerangi
keseluruhan ruangan, tetapi bisa disimpulkan bahwa ruangan itu bernama kamar
tidur. Sebuah tempat tidur king-sized
diduduki oleh seorang gadis yang sedang membenamkan wajahnya ke guling putih
yang ia peluk. Kedua kakinya dia rapatkan ke tubuhnya.
Bila
disimak baik-baik, deru napas pendek keluar dari bibir gadis itu. Sekujur
tubuhnya gemetar hebat. Di kejauhan sana, sebuah petir terdengar nyaring
membuat sang gadis terlonjak kaget dari tempat duduknya.
Seharusnya
hari ini kota Karakura tidak hujan. Pagi tadi, pembawa acara TV dengan ceria
telah memberitahukan para pemirsa bahwa cuaca Karakura sangat cerah
sehingga tak perlu repot menenteng
payung ke mana-mana. Namun, ketika pelayan keluarga Ishida, Katagiri, memanggil
sang gadis untuk turun karena makan malam sudah siap, hujan pun tumpah ruah
membasahi Bumi.
“Oh,
hujan,” gumam Katagiri sambil membukakan pintu menuju ruang makan untuk Masaki.
Dentuman air bertemu tanah terdengar riuh di halaman rumah. Seketika, tubuh
Masaki menegang.
Merasakan
ketidaknyamanan sang gadis Quincy, Katagiri bertanya, “Masaki-sama? Anda
baik-baik saja?”
“Ah,”
suara Masaki sedikit pecah tetapi berhasil ia kontrol, “tidak apa-apa,
Katagiri. Aku hanya kelaparan.”
Katagiri
mengembangkan senyum sopan, “Hari ini saya memasak gelatin udang untuk makan
malam. Semoga Anda tidak keberatan.”
“Tidak,
tidak, aku tidak keberatan,” Masaki memberi senyum ceria. Dia selalu menyukai
masakan Katagiri yang enak-enak. Meski
yang pelayan itu masak selalu masakan Barat, Masaki tak pernah keberatan.
Masakan buatan Katagiri selalu berhasil mencerahkan suasana hatinya.
Tak
lama kemudian, Masaki menikmati makan malamnya bersama Bibi Ishida. Suasana
ruang makan itu terasa berat. Keberadaan Bibi Ishida selalu membuat Masaki
lebih mawas diri. Dia harus duduk lebih tegak, mengusahakan kedua sikunya tidak
menyentuh meja, serta dengan hati-hati memotong daging gelatin tanpa suara.
Lagi
pula, dia harus membuktikan pada Bibi bahwa dirinya layak menjadi seorang
pengantin Quincy. Tangannya pun langsung sibuk merapikan kerutan rok sailor fuku-nya
Guyuran
hujan yang semakin berat tidak memperbaiki atmosfir di antara mereka. Bulu
kuduk Masaki mulai berdiri. Setiap gerakan tubuhnya terasa kaku.
“Bagaimana
sekolahmu, Masaki-san?” Bibi Ishida angkat bicara. Seperti biasa, formal dan
kaku pada calon menantunya.
“Oh,
itu, emm,” Masaki memutar otak mencari kata-kata yang tepat. “ Oh iya! Aku baru
sadar kalau murid di sekolah bisa menambah sayur kubis dan acar saat makan
siang!” Bodoh kau, rutuk si gadis dalam hati. Mengapa malah itu yang keluar?
Bibi
Ishida mengangguk, “Begitu. Lalu, bagaimana dengan pelatihanmu?” Ini jelas
pertanyaan yang sedari tadi wanita itu ingin tanyakan.
Temperatur
ruangan mulai menurun beberapa derajat. Pertanyaan itu membuat Masaki salah
tingkah. Bibi tidak akan senang mendengar jawabannya.
“Pelatihan,
yah, aku sudah bisa,” dalam setiap kata suara Masaki terus mengecil. “Sedikit,”
tambahnya. Dalam hati ia menghitung. Satu, dua, tiga…
“SEDIKIT!”
Bibi Ishida tiba-tiba berdiri sambil memukul meja makan, membuat peralatan
makan ikut bergetar. Masaki langsung melorot dalam kursinya.
“Sadarkah
kau berada di mana posisimu sekarang?!” nada bicara wanita itu meninggi. “Orang
tuamu sudah tidak ada dan kau adalah anak tunggal! Seharusnya kau sadar
posisimu sebagai pewaris keluarga Kurosaki, pewaris kekuatan Quincy di
keluargamu!”
Amarah
Nyonya Ishida telah meledak dan Masaki harus mencari cara untuk mengganti topik
pembicaraan. Mengapa hari ini cepat sekali berubah menjadi bencana?
Cepat-cepat,
pewaris Kurosaki itu memasang tampang polos, “Ya, aku tahu itu.
Ngomong-ngomong, gelatinnya enak sekali.” Batinnya menjerit-menjerit: salah
lagi!
Sepertinya
omelan Bibi Ishida tidak akan berhenti andaikan putranya, Ryuuken, tidak
menegurnya. “Ibu, hentikan. Aku bisa mendengar suara Ibu dari luar.”
Masaki
menyaksikan ibu-anak itu saling berinteraksi. Begitu dingin dan kaku, kontras
sekali dengan keluarganya dulu.
Setelah
Bibi keluar dari ruang makan, si gadis langsung menata diri lagi. Dia harus
tetap ceria di depan Ryuuken, calon suaminya. Bicara soal Ryuuken, hari ini dia
terlihat santai dengan sweater serta
kemeja kotak-kotak.
Ryuuken
melempar senyum pahit, “Maafkan ibuku, Masaki. Beliau hanya melampiaskan
stresnya padamu.”
Lebih dari itu, Ryuu-chan, batin Masaki
berkomentar. “Kamu ini bicara apa, Ryuu-chan? Itu semua bukan masalah bagiku.
Aku baik-baik saja, kok!” si gadis menyelipkan intonasi ceria dalam setiap
kata, meyakinkan tunangannya. Ryuuken tetap diam menanggapi keceriaan
tunangannya.
Aku harus keluar dari sini. “Terima
kasih untuk makan malamnya! Ngomong-ngomong, gelatin udangnya enak banget!
Nyesel kalau nggak dimakan. Kalau kamu nggak mau berikan saja padaku, ok!” Dengan itu, Masaki
berlari kecil menuju kamarnya. Satu-satunya tempat dimana ia bisa tenang dan menumpahkan
perasaannya.
Kombinasi
hujan dan omelan Bibi benar-benar sudah menyenggol batas kesabarannya. Setibanya
di kamar tidurnya yang luas, dia langsung memeluk guling kesayangannya dan
menangis.
xxxxxx
Di
dunia yang tak mengenal humanitas ini, Masaki telah belajar menjadi seorang
aktris. Agar musuh tidak dapat menerka suasana hatinya. Kecuali dalam situasi
ini, supaya tunangannya tidak mengkhawatirkannya.
Masaki
sadar tanggung jawabnya sebagai Quincy. Sebagai anak satu-satunya dari keluarga
Kurosaki yang nyaris punah. Sebagai seorang perempuan yang berkewajiban
meneruskan darah murni Quincy mulia kepada anak-anaknya. Terkadang semua itu
membebaninya. Tetapi ia seorang aktris yang piawai. Masaki pandai
menyembunyikan perasaannya.
Guntur
yang melolong serta ledakan petir yang merintih membuat Masaki selalu ingat
sebuah waktu di sudut memorinya. Di tengah hujan, ketika keluarganya dibantai
oleh segerombolan musuh. Musuh dalam pakaian serba hitam dan sebilah pedang.
Musuh yang menamai diri mereka sebagai Shinigami. Musuh bebuyutan Quincy karena
alasan yang menggelikan.
Sebenarnya,
nasib Masaki cukup beruntung. Dia dibesarkan dalam keluarga Quincy yang moderat
dan berpikiran maju. Keluarganya tak pernah memandang Shinigami sebagai musuh
dalam pertarungan, malah sebagai rekan kerja yang masih belum mencapai kata
sepakat. Mengingat sesungguhnya tujuan hidup mereka itu sama, yaitu untuk
membasmi hollow. Namun, teknik pembasmian yang berbeda di antara dua kelompok
itu yang membuat mereka berselisih paham hingga menimbulkan pertumpahan darah
ratusan tahun yang lalu. Jika dipikirkan secara objektif, segalanya terasa sangat
kekanak-kanakkan.
Tapi
siapa yang mau mendengar pendapat seorang gadis kemarin sore seperti dirinya?
Tidak ada. Kecuali Ishida Souken dan mendiang ayahnya.
Mungkin
karena persamaan sudut pandang kedua pria itu, mereka menjalin hubungan
persahabatan yang erat. Hal itu membuat sang ayah mempercayakan dirinya kepada
keluarga Ishida, yang mungkin mengira bahwa persamaan visi misi ini akan
mengantarkan pada sebuah pernikahan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Sangat
sulit untuk menemukan keluarga sesama darah murni pada saat ini. Nyaris kakek
buyut mereka dibantai pada masa perang berdarah dua ratus tahun silam. Mereka
yang tersisa segera bersembunyi dari pengawasan ketat agen-agen Shinigami dan
mengamankan diri dengan berbagai cara, salah satunya melalui pernikahan. Demi
menghasilkan keturunan yang secara fisik dan spiritual mampu menjadi
Quincy—serta mampu mewarisinya kelak—pernikahan antar Quincy tidaklah
main-main. Bila sebuah keluarga Quincy berdarah murni tak punya pilihan lagi,
mereka takkan segan-segan menjodohkan anak mereka dengan keponakan mereka,
hanya untuk mempertahankan kesucian darah mereka. Luar biasa.
Sungguh
beruntung Masaki bertemu dengan Ishida Souken dan putra semata wayangnya,
Ryuuken. Mereka menyambutnya dengan hangat. Souken memperlakukan Masaki seperti
putrinya sendiri. Ryuuken pun selalu menjaganya bagaikan seorang kakak lelaki
yang protektif terhadap adik perempuannya.
Hanya
sang nyonya rumah yang tidak mau bersusah payah menyembunyikan ketidaksukaannya
terhadap Masaki. Baginya, Masaki hanyalah calon istri penerus keluarga Ishida
yang harus memberikan keturunan dan menegakkan prinsip kuno Quincy pada
generasi selanjutnya.
Hujan
di luar mulai reda. Masaki pun mengangkat wajahnya dan menghembuskan napas.
Tiba-tiba, ia merasakan dua gelombang reiatsu
masif saling bertabrakan dengan hebatnya, seakan-akan keduanya tenggelam dalam
pertarungan panas. Indera Masaki mendeteksi salah satu pemilik reiatsu itu adalah Shinigami.
Mendadak
dilema menyelimuti hatinya. Gadis Kurosaki itu masih mengingat salah satu pesan
ayahnya, ‘Jangan pernah kamu membenci
Shinigami. Aku mengerti mengapa kaum kita ingin membalas dendam kematian
leluhur kita. Tapi, balas dendam hanya akan menimbulkan akar balas dendam yang
baru. Kamu harus menahannya.’
Haruskah
ia menyelamatkan Shinigami itu? Reiatsu
Shinigami tak bernama ini terasa intens dan kuat, pasti dia selevel para kapten
Soul Society. Tetapi lawannya juga tak kalah hebat. Hollow ini bukan berasal
dari level ikan teri.
Masaki
menolehkan kepalanya mengarah ke jendela, mata hazel-nya terfokus pada dua makhluk halus di luar sana. Kebetulan
hujan tidak terlalu deras sekarang. Dia bisa pergi keluar, mungkin menyelinap
lewat jendela. Tidak bisa, Masaki menggelengkan kepalanya menepis jauh-jauh ide
konyol itu. Para pelayan bisa tahu kalau nona besar mereka melarikan diri entah
kemana. Pelayan rumah Ishida bukan pelayan biasa, mereka Quincy berdarah
campuran.
Separuh
hati Masaki berteriak untuk membiarkan mereka bertarung. Tentu saja Masaki tahu
mengapa. Keluarga Kurosaki dibantai kelompok Shinigami dalam pembasmian
gelombang kedua, sebuah genosida yang bertujuan untuk memusnahkan lalat
kecil tak berguna yang bernama Quincy yang masih tersisa. Seharusnya gadis itu
duduk diam di kamarnya, sebagai sikap bahwa dirinya membela Quincy, membela
keluarga Ishida. Namun, idealisme kecil di benaknya terus memberontak bahwa
yang ayahnya pernah katakan itu benar. Bahwa hal itu mampu menjadi kunci
perseteruan ini berakhir.
Persetan dengan protokol, langsung saja
Kurosaki Masaki membuka pintu dan berlari menuju dua makhluk halus itu
bertarung. Semoga saja Shinigami itu baik-baik saja.
Dan semoga aku tidak terluka dalam aksi impulsifku ini. Kalau pun
terluka, jangan sampai membuat Ryuu-chan cerewet seperti ibu-ibu.